Kesultanan Deli
Menurut Hikayat Deli, seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil
menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik, yang kemudian
juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan (ada
pula sumber yang mengeja Laksamana Kuda Bintan), adalah keturunan dari Amir
Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri
Chandra Dewi, putri Sultan Samudra Pasai. Dia
dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru yang
berpusat di daerah sungai Lalang-Percut.
Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang masih di bawah Kesultanan Aceh pada
tahun 1630.
Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku
Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669
mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Ibu kotanya berada di Labuhan,
kira-kira 20 km dari Medan.
Sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya
Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang. Setelah itu, Kesultanan
Deli sempat direbut Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Aceh.
Pada tahun 1858,
Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sharif Ismail,
menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli
secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan
Deli bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun
perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya. Pada masa ini Kesultanan Deli
berkembang pesat. Perkembangannya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak
kesultanan berkat usaha perkebunan terutamanya tembakau
dan lain-lain. Selain itu, beberapa bangunan peninggalan Kesultanan Deli juga
menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu, misalnya Istana Maimun.
Kesultanan Deli masih tetap eksis hingga kini
meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik setelah berakhirnya Perang Dunia
II dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar